Dunia pendidikan kembali tercoreng-moreng. Tawuran antarpelajar dari beberapa sekolah kembali pecah di Jakarta pada Rabu, 18 Juli 2012. Tawuran itu melibatkan SMA 06 dan SMA 70 Jakarta. Selain kedua sekolah ini, tawuran juga pecah antara pelajar SMK 15 dan SMK 29 atau SMK Penerbangan.
Ironisnya tawuran ini terjadi di awal tahun ajaran baru, bahkan saat pelaksanaan Masa Orientasi Sekolah (MOS) masih berlangsung di sekolah lain di tempat yang berbeda. Di lain pihak, sebagian pelaku tawuran adalah siswa-siswa baru yang baru selesai melaksanakan MOS dan atribut MOS bahkan masih melekat di tubuh mereka.
Seperti kita ketahui, tawuran antarpelajar bukanlah kasus baru dalam dunia pendidikan kita. Pasalnya, sepanjang tahun, peristiwa kekerasan yang melibatkan remaja sekolahan ini selalu terjadi. Bahkan dari tahun ke tahun, bukannya semakin berkurang, namun justru kian meningkat.
belum lagi jika menghitung tawuran yang terjadi di tingkat universutas, yang pastinya semakin menambah daftar panjang kasus tawuran ini.
Di Jakarta, data tawuran yang tercatat di Bimmas Polda Metro Jaya, menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. (www.kpai.go.id/15 Mei 2011). Sementara untuk tahun 2010, Komnas PA juga mendata jumlah tawuran antarpelajar sebanyak 128 kasus. Dan tahun 2011 kembali naik sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang.
Selain data kejadian yang terus meningkat, gaya perkelahian yang dipertontonkan juga kian tidak terkendali dan semakin berani. Para pelaku tawuran kini secara sengaja mempersiapkan persenjataan untuk perkelahian. Senjata yang disiapkan dan digunakan juga tidak tanggung-tanggung, mulai dari sekadar balok kayu, hingga senjata tajam seperti celurit, pisau, klewang, dan gear motor yang sudah dimodifikasi sedemikan rupa.
Dengan persiapan sematang ini, bisa dipastikan, ‘niat’ untuk tawuran bukan hanya perkelahian biasa, tapi sudah bersiap untuk saling membunuh. Tak ada lagi ketakutan untuk memukul, melukai, bahkan jika harus membunuh sekalipun. Sebaliknya mereka juga tak lagi berpikir bahwa perilaku seperti ini kan merugikan kehidupan mereka sendiri dengan kemungkinan menjadi korban. Hal-hal seperti ini tak lagi menjadi bahan perhitungan. Yang ada adalah semangat, rasa ego dan dendam untuk menghabisi lawan.
Faktor Pemicu
Banyak hal yang menjadi alasan para pelajar memulai aksi tawuran. Kadang dimulai dari hal-hal yang sepele seperti saling mengejek antarsiswa dan saling menghina atas nama sekolah. Pemicu yang lain, seringkali dari aneka permainan olahraga hingga pentas seni. Jadi, kegiatan yang awalnya sebenarnya ditujukan untuk kompetisi persahabatan antarsekolah justru menjadi pemicu pecahnya tawuran. Awalnya mungkin hanya perkelahian antara seorang dua orang pelajar, namun pada kondisi berikutnya akhirnya merembet pada meletusnya tawuran yang lebih besar.
Lebih dari itu, menurut psikolog Sander Diki Zulkarnaen dalam pengaduan ke KPAI tahun 2011, menyebutkan bahwa untuk kota besar, masalah pemicu tawuran sudah demikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut sesungguhnya adalah faktor keluarga/rumah, sekolah, dan lingkungan. Keluarga yang tidak harmonis dan sering mempertontonkan perkelahian/kekerasan pada anak akan cenderung membuat anak mencontoh perilaku yang sering dilihatnya. Di sisi lain, kurangnya kasih sayang dan perhatian yang diterima anak dari dalam rumah akan membuat mereka menyibukkan diri dengan pergaulan bersama teman-teman sebaya (mungkin dalam genk) yang dianggap mampu memberi rasa nyaman dan kebersamaan.
Hal ini kian diperparah lagi dengan sangat kurangnya basic pendidikan agama yang ditanamkan oleh para orang tua. Pada akhirnya, kelompk-kelompok pelajar seperti ini akan sangat mudah tesulut emosinya untuk menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas jika ada sedikit saja pemantik yang mengusik jati diri mereka.
Di sisi lain, pendidikan sekolah masa kini yang dikotomis antara pendidikan umum dan agama, juga tak bisa diharapkan mampu memberi bekal yang cukup untuk membentuk siswa yang berkepribadian baik. Di satu sisi, penguasaan ilmu dan prestasi dalam bidang pelajaran umum terus dipacu, namun ternyata tidak dibarengi dengan upaya yang sama dalam hal pembinaan akhlak dan keterikatan terhadap norma agama. Akibatnya, intelegensi boleh tinggi tapi minus akhlak mulia hingga cenderung bersikap anarkis dalam menyelesaikan persoalan.
Lebih parahnya lagi, padatnya kurikulum pembelajaran seakan tak memberi ruang bagi peserta didik untuk sekedar ‘berkontemplasi’, memikirkan lebih jernih setiap masalah yang dihadapinya dan mencari solusi terbaik. Sebaliknya yang terjadi adalah para pelajar harus menjalani ritual yang monoton setiap hari; pergi ke sekolah dan duduk menerima pelajaran di kelas dengan jadwal yang padat. Sungguh sebuah siklus yang pastinya sangat membosankan dan pada tahap tertentu bisa saja menjadi pemicu frustasi.
Selanjutnya, kompleksitas dalam keluarga dan sekolah juga ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang tak bersahabat. Harus diakui, lingkungan sosial kita saat ini adalah lingkungan yang begitu rawan atas perkembangan perilaku, fisik dan psikis generasi muda. Tindak kekerasan dan peredaran obat terlarang, hanyalah sedikit contoh, yang turut memperburuk moral para remaja ini. Di sisi lain, ketidaktegasan penguasa dan carut-marutnya pengaturan dan perlindungan negara terhadap para generasi semakin menjerumuskan para penerus bangsa ini dalam kehidupan yang semakin kehilangan arah.
Solusi Fundamental
Bagaimanapun, tawuran hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan pendidikan yang membelit bangsa ini. Persoalan ini tak bisa dilepaskan dari sistem sekularisme yang dijadikan patokan untuk mengatur segala lini negeri ini. Sistem inilah yang telah menjauhkan peran agama (Islam) untuk mengatur kehidupan dan menyelesaikan segala persoalan.
Agama (Islam) hanya dipandang sebagai aturan untuk mengurus ibadah ritual semata dan tidak diperkenankan untuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akibatnya, kita semakin jauh dari aturan Pencipta, dan tidak punya gambaran utuh bagaimana sejatinya Islam menyelesaikan setiap inci permasalahan manusia termasuk bidang pendidikan dan pembinaan generasi. Jauhnya kita dari Islam kini, justru kian menyengsarakan dan merusak tatanan kehidupan yang kita jalani, termasuk merusak kehidupan para generasi muda kita.
Karenanya, dibutuhkan solusi fundamental menyelesaikan persoalan tawuran pelajar. Yaitu mengganti sistem sekularisme dengan sistem Islam, yang dengannya akan mampu melahirkan sinergi antara pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan secara terarah.